Keberanian Atas Aqidah yang Tercoreng
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله و شكرلله لهذه النعمة
والصلاة والسلام على محمد و على اله و اصحابه اجمعين
Kita semua yakin akan keyakinan bahwa setiap makhluk pasti ada akhirnya. Dan umur ini akan lebih sedikit dirasa apabila tidak ada perbekalan sebelum pintu kehidupan berikutnya, yaitu akhirat. Maka ana mau bercerita sedikit didalam tulisan ini. Karena memang masing-masing dari kita sudah memiliki takdir yang Allah tetapkan keadaannya.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui apa saja yang ada dilangit maupun dibumi? dan yg demikian itu terdapat dalam kitab (laufhul mahfudz). Sesungguhnya terhadap keadaan tadi amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj Ayat ke-70)
Tetapi kelengkapan dari takdir itu tidak diketahui oleh kita (kita sebagai hambaNya, makhluk yg lemah, kita ialah ciptaanNya), dan ini bagian dari Rahasia Allah. Kita tidak punya kuasa penuh untuk mengetahui hal yang ghoib selain dari apa yg bisa didapat dari ilmu quran dan hadist. Lalu bagaimana dengan pemahaman dari yg kebanyakan orang? Patutkah diikuti? Seperti bahwa orang yang mati akan kembali disekitar rumahnya, (bahasa lain: gentayangan) ? Jika suatu pemahaman itu bukan dari dalil yg benar maka lebih baik untuk ditinggalkan. Kenapa demikian? Karena khawatir bahwa khabar yang ada justru di dapat dari prasangka, praduga, dan bahkan dari orang-orang jahil (tidak berilmu). Keyakinan seperti ini dikenal sebagai keyakinan yang bathil / jelek. Dan muslim yg sehat sebaiknya tau benar darimana ia memiliki keyakinan. Jangan sampai punya keyakinan tetapi tidak ada ilmunya.
Setidaknya jika kita memang menyadari bahwa kita ingin mendalami agama biasanya ada dalam dua keadaan : 1. takut akan sesuatu (خوف عن شيء) 2. berani (شجاع)
Dimana dari keadaankeduanya memiliki ganjaran yang berbeda disisi Allah. Keduanya memiliki perbedaan. Untuk keadaan yg takut akan sesuatu, biasanya dikarenakan belum adanya keyakinan akan suatu dalil dengan keadaan yg dihadapi. Dan ini biasanya dialami oleh orang-orang awam, dan juga orang yang beru belajar agama. Adapun keadaan yg berani, itu sebaliknya, dikarenakan ada dalil maka ia berpegang teguh kepada dalil tersebut dan tidak khawatir apapun keadaan setelahnya. Disini semua orang bisa menjadi seperti itu. Perbedaannya dari keadaan yg pertama ialah, tidak lain karena adanya hidayah yg Allah berikan padanya.
“Sungguh engkau tidak dapat memberikan hidayah kepada sesiapa yang engkau kasihi. Tetapi Allah mampu memberikan hidayah kepada siapa yg Dia kehendaki. Dan Dia (Allah) Maha Mengetahui siapa orang-orang yg diberi petunjuk (hidayah). ”(QS. Al-Qoshosh Ayat ke-56)
Ada suatu dialog yang boleh kita jadikan sebagai pelajaran berharga untuk refleksi keadaan dan juga muhasabah. Kurang lebihnya dialog ini diambil dari seusai mengikuti suatu pengajian yang didalamnya diingatkan tentang Allah, Nabi, dan juga beberapa ayat-ayat qur'an. Hal biasa, tidak terlihat yang lain. Dari waktu ke waktu semakin ramai orang yang mengikuti pengajian tersebut. Sampai satu titik, ada yang bertanya tentang pemahaman yang diyakini oleh mu'allim (pengajar) pengajian tersebut. Sehingga jelaslah bahwa pengajian tersebut harus diwaspadai. Berikut kurang lebih dialognya :
Penanya: "Anda sebutkan tadi bahwa Allah senantiasa bersama kita, betul?"
Mu'allim: "Benar, ia senantiasa bersama kita. Disini, bahkan dimana-mana."
Penanya: "Apakah keyakinan ini sama dengan mereka yg faham akan trinitas?"
CATAT : Trinitas yaitu Meyakini Tuhan dalam wujud yang 3. Keyakinan Bathil.
Mu'allim: "Tidak sama, berbeda. Mereka yakin adanya Tuhan menjelma menjadi Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sementara kita tidak. Kita hanya yakin bahwa Allah 1 tidak menjelma menjadi apa-apa. Dia ada tetapi tidak menjadi Anak, Roh Kudus, ataupun Ayah."
Penanya: "Keyakinan itu bathil?"
Mu'allim: "Tentu saja bathil. Tinggalkan keyakinan tersebut."
Penanya: "Saya yakin keyakinan itu bathil. Karena saya ingat satu perumpamaan dari Ayah saya, ia mengatakan, -apabila satu cipratan kopi saja yang anda rasakan nikmat tetapi ia tumpah di baju kemeja anda yg putih dianggap sebagai noda. Apalah lagi jika beberapa cangkir kopi yang lain yg tumpah, tentu diketahui bahwa noda ini terlalu banyak dan mengotori keadaan yg sebenarnya."
Mu'allim: "Benar." Penanya: "Tetapi tadi barusan, dan beberapa pertemuan sebelumnya. Saya dapati beberapa orang menyatakan bahwa kita ini di dalam Allah, dan Allah itu ada bersama kita. Bagaimana ini?"
CATAT : Pertanyaan Kita ini di dalam Allah. Dan Allah bersama kita. (Klarifikasi)
Mu'allim: "Hal ini tidak lain karena keyakinan bahwa Allah itu ada. Dan tidak perlu dibahas lagi."
Penanya: "Maksudnya? Apakah hal ini benar? Kenapa demikian? Bukankah ini sebaiknya dikatakan bahwa Kita ini ada dalam KuasaNya (Allah), dan Allah bersama kita?"
Mu'allim: "Coba anda ingat kembali bukankah Agama ini mudah? Allah pun memberikan kita kemudahan dalam berbagai hal. Lihat ketika shalat yang semestinya berdiri, tetapi jika mereka ada udzur, maka diperbolehkan shalat duduk, dan seterusnya...."
Penanya: "Mudah disana tidak selamanya mudah dalam semua perspektif. Karena dalam Ilmu Agama, saya ingat bahwa perlu akan waktu yang ditempuh untuk mencapai pemahaman dan mengkaji dalil-dalil yang menjadi ketetapan sesuatu. Dalam kaedah penetapan hukum pun tidak bisa langsung ini boleh itu tidak boleh secara langsung (seenaknya) tanpa ilmu."
CATAT : Tafsir perbedaan makna suatu kata dalam Qur'an. Perlu ilmu.
Mu'allim: "Benar..."
Penanya: "Kembali lagi ke pertanyaan saya sebelumnya, lalu bagaimana dengan keyakinan yang awal tadi?" Mu'allim: "Begini,... Allah itu Maha Besar, Allah itu ada tetapi tidak nampak saat ini. Dzatnya ada tetapi tidak nampak oleh kita saat ini. Yang ada yaitu bukti kebenaranNya. Bukti keberadaanNya, dan itulah yang disebut sebagai Ayat-ayat Allah."
Penanya: "Benar,... lalu?"
Mu'allim: "Tidakkah kita sadari bahwa ini semua ada bukti adanya Allah? Ini smua... ya, ini adalah Allah." Penanya: "Maksudnya?"
Mu'allim: "Barangsiapa yg mengenal dirinya maka ia akan kenal Tuhannya, itu dari Al-Hadist"
Penanya: "Hadist ? Benarkah siapa periwayatnya?
Mu'allim: "Saya tidak tahu..."
Penanya: "Lha,...?"
CATAT : Kenal dirinya kenal tuhannya. Hadist yg tidak diketahui asal usulnya.
Mu'allim: "Tidak usah bingung, yakini saja Ini smua adalah Allah, kita menyatu dalam Allah."
Penanya: "Koq? Saya semakin bingung. Diawal pembicaraan tadi yg saya tanyakan ialah bahwa trinitas jelas-jelas ditolak oleh keyakinan kita dalam Agama Islam. Tetapi yg barusan saya dengar langsung. Kita menyatu dengan Allah? "
Mu'allim: "..."
Penanya: "Kalau satu hal saja Allah tidak suka diperkatakan bahwa Dia memiliki anak, apalah lagi dikatakan bahwa ia menjelma menjadi ini dan itu. Lalu saat ini yg barusan saya dengar langsung,... bahwa Allah itu menyatu dengan kita? Kita = Allah?
Obrolan dihentikan sampai situ. Ada beberapa hal yg mau digaris bawahi bahwa, lihat beberapa potongan dari dialog diatas yg sengaja ditulis dalam beberapa CATATAN:
1. Kenal dirinya, Kenal Tuhannya. Ini bukan hadist, coba check kitab (Al-Qoul Al-Asybah fil Hadith Man ‘Arofa Nafsahu Faqod ‘Arofa Rabbahu) – Imam As-Suyuti.
2. Perbedaan suatu kata dalam Quran harus dilihat tafsirnya. Coba lihat Ayat (QS. At-Thagobun Ayat ke-15). Maka kata ‘fitnah’ tidak dinyatakan sebagai ‘kabar palsu’ / ‘berita dusta’. Tetapi fitnah disana bermakna ‘ujian / cobaan’. Lalu bagaimana mungkin kita berikan makna Ayat Qur’an tanpa mengetahui tafsir yg sebenarnya? Contoh : Ayat tersebut menyatakan bahwa anak dan harta ialah fitnah. Jika faham kita terbatas pada kata ‘fitnah’, maka jangan heran ada yg memilih untuk tidak mau punya anak, tidak mau beristri, padahal sunnah rasulllah ialah menikah, memiliki keturunan dan mendidik dengan ilmu dan amal sholeh. Cobalah untuk meluruskan keadaan ini dengan mengetahui tafsirnya, yaitu kata ‘fitnah’ berarti cobaan / ujian seperti sudah dijelaskan dalam kitab tafsir (silahkan perdalam dari kaedah bahasa aslinya).
3. Klarifikasi dengan pertanyaan. Hal ini penting untuk dilakukan agar mengenal siapa mana hitam dan mana putih.
4. Keyakinan Trinitas. Jelas sudah bertentangan dengan Ayat QS maupun Hadist. (QS. Al-Ikhlas)
5. Keberanian yang dibawa mu’allim tadi bisa jadi ada di dalam diri kita. Yaitu tidak mengetahui suatu dalil tetapi meyakininya dan bahkan tidak meninggalkannya. ini berbahaya.
Apabila sahabat sekalian berkenan mengkaji lebih dalam mengenai keyakinan yg menyimpang tersebut. Ada baiknya mulai mengkaji dari mana pemahaman ini beredar. Karena satu diantara beberapa tulisan yang erat kaitannya dengan persebaran islam di Asia Tenggara yaitu karangan Dr.Hj. Helimati, M.Ag (terbitan Nusamedia & Zanafa Publishing) menyoroti bahwa pemahaman ini ada dimana-mana sejak dulu. Akidah atau keyakinan ini bernama wahdatul wujud (penyatuan wujud).
Pesan dari ana pribadi mengingatkan agar kita semua hati-hati dan meninggalkan keyakinan ini karena jika dalam diri kita ada keyakinan seperti ini sama saja dengan mencorat-coret keyakinan yg ada (dicampur adukkan), bahaya, nanti akan sulit untuk menerima ilmu yg sebenarnya dari Qur'an dan hadist *sumber yg benar*.
Coba tanya diri sendiri, sumber mana yg menyatakan bahwa Allah itu ridho dengan keyakinan Fir'aun yg menyatakan dirinya Tuhan? Sumber mana yg menyatakan bahwa Allah itu ridho dikatakan wujudnya Isa alaihissalam? Lalu sumber mana yg menyatakan bahwa Matahari, Bulan itu Tuhan? Lalu bagaimana dengan ucapan semua itu digabungkan lalu disebut sebagai Tuhan? Sahabat, yang satu makhluk saja dikatakan Tuhan jelas-jelas Allah tolak, sekarang smuanya dicampur adukkan lalu dikatakan Tuhan, apakah Sahabat sampai saat ini dapat melihat aqidah apa dari dialog tadi?
Nastagfirullahul'adziim.
Nasihat : Kenalilah agama dengan ilmu dan ber’amalah dengan ilmu, tetapi ingat pintalah kepada Allah agar jauh dari Ilmu dan amal yang bathil. Karena Allah Maha Kuasa dalam penentuan setiap Takdir & Hidayah.
== -- 00 -- ==
Comments
Post a Comment