Ikhwatul Imaan wal Islam
Allahumma sholli 'ala muhammadin wa'ala alihi wa ashabihi ajma'in,
Alhamdulillahirabbil'alamin,
Pernah datang seorang teman yang datang mengajak pergi keluar untuk jalan-jalan, menghirup udara segar.
Tak lama diperjalanan ia pun menceritakan bahwa di rumahnya sudah tidak ada lagi rasa damai dan tentram.
Antara orang satu dengan yang lainnya, seperti di pasar. Lupa akan keadaan persekitarannya.
Tidak lagi ada perhatian seperti sebelumnya. Ya, sebelumnya masih ada terdengar lantunan-lantunan qur'an,
dan tidak ada lagi suara tawa anak-anak yang bermain-main di kala beristirahat setelah belajar membaca Iqra (tahap pertama bagi anak-anak untuk membaca tulisan arab sebelum alquran). Keluarga ini telah kehilangan lingkungan yang begitu berharga, bagitu jelasnya. Ia pun menghidupkan sebatang rokok dari saku kanan celananya. Terkejut seorang sahabat ini melihat temannya yang ia ketahui tak pernah merokok sebelumnya kini berbeda.
Sekilas kisah tadi memberikan gambaran pada kita, bahwa lingkungan amat memungkinkan untuk melakukan pembentukan pribadi serta keluarga kita. Dan lingkungan dapat dijadikan sebagai jalan memberikan pengaruh terbesar agar diri kita mulai memutuskan sesuatu. Tanpa disadari saja hal ini sudah berlaku sejak dulu. Perhatikan seorang anak kecil, yang pada mulanya hanyalah manusia yang tak mampu berkata-kata, lalu mulai menerima masukan-masukan dari persekitarannya, hingga berumur kurang lebih 2 tahun sudah mampu berbicara meskipun perbendaharaan katanya masih berantakan. Tapi seperti itulah, pertama kali ia akan mendapat pengaruh, lalu ia memutuskan dirinya untuk menerima (beradaptasi), lalu membentuk kemampuannya sendiri dengan bentuk yang baru (berbeda dari sebelumnya).
Kini, bayangkan ketika persekitaran yang positive dan berharga ini sudah tidak lagi kita indahkan, atau tidak lagi kita perhatikan. Bagaimana bentuknya keadaan kita saat ini? Untuk itu, dengan adanya kesempatan, dibarengi dengan kendaraan, dan kekuatan, tidak ada ruginya kalau kita mencoba untuk mengikhtiarkan keadaan itu terbentuk, ya keadaan yang lebih baik, dimulai dari diri sendiri, keluarganya, lalu persekitarannya. Mulai menebarkan pengaruh positive agar tetap terjauh dari keburukan. Iman harus dipertahankan. Iman ini ibarat masin (hanyir) yang harus melekat setiap saat pada ikan. Ikan yang tetap masin (hanyir) meskipun keadaan tawar airnya berbeda seperti laut, sungai, bahkan selokan. Belum pernah ada ikan yang tak hanyir (masin) ketika diangkat dari airnya.
Untuk itu, beruntung bagi yang masih memiliki saudara, keluarga, dan rekan-rekan yang masih mau mendengarkan pembicaraan kita, perkataan-perkataan yang belum tentu mau didengar oleh presiden, belum tentu di dengar oleh para petinggi-petinggi negara, belum tentu di dengar oleh professor-professor terkemuka. Ya beruntung, ketika perkataan ini, perbuatan ini, dan ajakan ini masih mau dihargai atau bahkan diikuti dengan kebaikan dan rasa sayang. Tercipta ikatan yang tak nampak oleh mata.
Ikatan ini yang memberikan pemahaman pada kita bahwa nasab bukan hanya satu-satunya arah persaudaraan. Tetapi juga, ikatan seimanlah yang perlu dikuatkan dan dijaga, ya meskipun nasab berbeda. Dan tak sedikit ulama mengingatkan kepada kita agar menyamakan kecintaan kita sendiri terhadap orang lain, agar tak melebihi rute-rute tuntunan agama. Bukankah ini tantangannya yang masih ada sampai hari ini? Lalu, pembersihan hati dari rasa dengki serta dari segala macam penyakit lainnya pun jangan sampai terlupakan. Karenanya tak sedikit diantara kita yang lebih memilih dengki / hasud ketika orang lain / saudaranya lebih baik ketimbang dirinya.
Inilah yang pernah dibahas dalam kitab Arba'in An-Nawawi salah satunya, bagian ke-13 (ikwatul iman wal islam / kamalul iman / al mahabbah): disitu tertulis tentang keberagaman islam yang terbentuk dalam kasih sayang, ya cinta kasih. Bermula dari terbentuknya anjuran-anjuran untuk mencintai sesama saudara, sesama muslim.
Terjemahannya;
Dari Abi Hamzah anas ibni malik (ra), pembantu Rasulullah (saw), bahwa dari nabi (saw) berkata; Tidaklah beriman diantara kamu sekalian sehingga kamu menyukai saudaramu sebagaimana yang kamu sukai bagi dirimu (sendiri). (Hadist Riwayat Al Bukhairi & Muslim)
Dan kepada Allahlah semua akan kembali,
Semoga amalan keseharian kita saat ini di dunia merupakan persiapan yang baik untuk kelak berjumpa denganNya.
Subhanakallahumma wabihamdika astagfiruka wa atuubu ilaik,
(amalkan lalu sampaikan pada yang lain. Barakallahu fiikum ~smoga keberkahan allah tersebar untukmu.)
Comments
Post a Comment